Jumat, 24 Juli 2009

Anak Kecil di Bus Kota

Hari ini, aku kembali teringat pada seorang anak kecil yang aku lihat dalam sebuah bus kota beberapa waktu yang lalu. Ya, seorang anak yang sempat membuatku merasa terkejut dan prihatin. Bagaimana tidak? Ketika aku -yang sedang duduk di jok paling depan di sebuah bus kota- sedang berkutat dengan peluh dan udara panas yang menyelimutiku di tengah terik mentari yang berposisi lurus di atas kepalaku, menunggu bus yang tak kunjung jalan, tiba-tiba terdengar bunyi gas mesin yang dimain-mainkan, yang sontak menggelitikku untuk menolehkan kepalaku untuk melihat ke arah jok supir yang tepat berada di sampingku.

Betapa terkejutnya diriku melihat seorang anak kecil setinggi anak kelas empat SD, berbaju lusuh, memegang sebatang rokok di sela-sela jari kirinya sambil sesekali menghisapnya, bersikap seperti layaknya sopir dewasa. sungguh pemandangan ini membuatku miris dan bertanya-tanya?

"Apakah gerangan yang terjadi dalam hidupmu nak, sehingga membuatmu menjadi begitu? Tak punyakah engkau orang tua? Tak adakah yang mengurusmu? Tak adakah yang menyayangimu?"

Beragam pertanyaan berkecamuk dalam benak dan pikiranku, membuatku teringat pada keponakan laki-laki kecilku yang sedang berada di rumah. Ya, walaupun ia sudah lagi tak punya ayah, namun masih ada keluarga dan orang-orang yang mengurusnya. Ia masih bisa bermain, belajar dan makan-minum tanpa harus menguras keringat, berpanas-panasan di jalanan atau bus kota untuk mengamen, menjadi kondektur ataupun sekedar menadahkan tangan mengharap belas kasihan dari orang-orang. Sungguh tak bisa kubayangkan seandainya dialah yang berada di posisi anak kecil itu.

Sejenak waktu berlalu, datanglah seorang laki-laki dewasa yang ternyata adalah sopir dari bus kota itu. Anak kecil itu pun menyingkir dari tempat duduknya. Bus kota yang sudah padat dengan penumpang itupun melaju. Kulihat anak kecil itu menarik uang dari para penumpang. Hm, rupanya anak kecil itu adalah kondektur dari bus kota itu. Ketika ia menarik uang dariku, kulihat mukanya, begitu keras. Tak ada muka yang lugu dan ceria selayak anak-anak kecil lainnya. Yang ada hanyalah seraup muka seorang lelaki dewasa yang keras di terpa badai dan gelombang kehidupan.

Tapi, dia bukanlah lelaki dewasa! Dia adalah anak-anak, seperti anak, cucu, adik, ataupun keponakan kita. Hanya saja bedanya, mereka tak punya orang-orang yang menyayangi, memperhatikan atau sekedar peduli pada nasib mereka. "Ah... betapa lemahnya diri ini, hanya bisa membatin saja. Tanpa berbuat apa-apa untuk menolong mereka". "Lalu siapakah orang yang kuat? dan dimanakah mereka? Ya, mereka ada di sana, hanya saja, mereka tidak peduli". "Jadi siapa yang peduli?" "Oh, sungguh aku ingin sekali menjadi kuat!"

Tidak ada komentar: