Jumat, 06 Juli 2012

Pesan Cinta dalam Sepucuk Angpau

Juara III lomba resensi buku Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah yang diadakan penerbit Gramedia

Judul buku : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis       : Tere Liye
Penerbit     : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan    : Pertama, 2012
ISBN        : 978-979-22-7913-9
Tebal buku : 512 halaman
Harga buku : Rp 72.000, -

SELAMA langit belum runtuh, tema tentang kisah cinta dalam literatur sastra –tidak bisa dimungkri-- tak akan pernah lekang dan usang untuk dikisahkan. Tema tentang kisah cinta akan selalu menarik dan memikat untuk dibaca, direnungkan bahkan dikenang sepanjang masa. Sebab tema tentang kisah cinta merupakan tema abadi dalam palung kehidupan yang tak lekang dimakan waktu dan dibatasi oelh ruang.


Tidak berlebihan, jika kisah Romeo-Juliat maupun Laila-Majnun hingga detik ini masih mengundang daya pikat bagi pembaca. Sebab, di balik kisah cinta sejati dua anak manusia yang memilukan, tragis bahkan penuh dengan perjuangan tersimpan selaksa makna yang bisa dipetik untuk dijadikan pelajaran. Apalagi, jika "kisah cinta" itu sampai berujung tragedi, dan tidak bisa disatukan lantaran ada perbedaan ras, kultur, agama, maupun status sosial. Wajar, kalau kisah cinta seperti merenggut air mata menetes, mengiris-iris relung hati hingga akhirnya bisa diingat sebagai sebuah kisah yang tak mudah untuk dilupakan.

Novel karya Tere Liye yang berjudul Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ini tak dapat dimungkiri menjadi satu bukti nyata akan kebenaran itu. Meskipun novel ini tidak mengisahkan kisah cinta sejati yang luar biasa, melainkan hanya kisah cinta biasa, sederhana dari dua anak manusia yang terjadi di tepi sungai Kapuas, tapi pengarang mampu membuat kisah cinta biasa itu meletup-letup dan mengagumkan. Pasalnya, Tere Liye “piawai” merangkai kisah itu dengan teknik cerita yang menawan.

***
BORNO, tokoh utama dalam novel Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ini, tak pernah menyangka jika perkenalannya dengan gadis sendu dapat membuka kotak pandora tentang satu misteri yang terselip dalam kehidupan Borno pada masa lalu. Anehnya, kunci “pembuka” kotak pandora itu termaktub di balik sepucuk angpau merah yang ditinggalkan gadis berwajah sendu dan menawan itu di bawah tempat duduk sepit. 

Uniknya lagi sepucuk angpau merah itu seperti menyimpan kekuatan nan ajaib. Sepucuk angkau itu dapat diibaratkan serupa mata anak panah venus yang membidik jantung hati Borno sampai-sampai dia jatuh hati kepada si pemilik angpau itu. Tapi di balik sepucuk angpau merah itu ternyata menyimpan satu alasan; kenapa gadis itu menghindar dari Borno, walaupun tak dapat dipungkiri, jika gadis itu sebenarnya juga jatuh cinta pada Borno –“bujang berhati paling lurus” dΐ sepanjang sungai Kapuas itu.

Bisa jadi cerita novel Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ini tidak akan mengundang penasaran kalau Borno sedari awal membuka angpau itu. Pada titik inilah, pengarang novel ini seakan hendak menghanyutkan emosi pembaca pada alur kisah yang panjang. Sebab, di balik isi angpau merah itu ada secercah jawaban dari setangkup beban yang sempat menjadi pertanyaan besar bagi Borno tentang cinta sejati dan fakta di balik kematian ayah Borno.

Jadi, setelah ayah Borno meninggal, dia hidup dengan “menanggung” masa depan yang buram. Wajar jika Borno hanya mampu tamat SMA, dan tidak bisa melanjutkan kuliah lantaran tak ada biaya. Akhirnya, dia bekerja menjadi pengemudi sepit --perahu motor tradisional, atau alat transportasi yang efektif, hemat waktu dan uang untuk menyeberang sungai Kapuas. Di saat Borno mengemudikan sepit itulah, dia menemukan sepucuk amplop merah tanpa nama di dasar sepit, tepat di bawah bangku tempat duduk seorang gadis berbaju kuning, berambut panjang, bermata sipit, berwajah sendu dan menawan.

Awalnya, Borno sempat mengira angpau merah itu sepucuk surat cinta. Karena itu, dia tak berani membuka. Dia takut jika sepucuk surat itu bukan untuk dirinya. Borno pun bertekat ingin mengembalikan amplop berwarna merah itu. Tapi ketika dia mau mengembalikan angpau tersebut, justru dihadapkan pada situasi yang membingungkan. Borno melihat gadis sendu nan menawan itu justru sedang membagi-bagikan amplop merah dalam rangka perayaan imlek.

Borno tergugu dan seakan disadarkan bahwa amplop merah yang dia kira surat cinta itu tak lebih hanya sebuah angpau biasa. Bahkan, Borno sempat terkejut, sewaktu gadis sendu nan menawan itu pun berucap sambil tersenyum, "Abang Borno mau angpau juga? Oh, abang Borno sudah dapat."

Di luar dugaan Borno, ternyata gadis sendu nan menawan itu  sudah tahu namanya. Dari situlah, Borno yakin jika amplop merah itu hanya angpau biasa sehingga Borno menyimpannya dan bahkan tidak pernah membukanya. Tetapi, sejak peristiwa itu, Borno kian terobsesi dengan gadis itu. Diam-diam, Borno memperhatikan dengan detail jam kepergian gadis itu yang selalu menyeberang sungai Kapuas pada pukul 7.15 setiap pagi.

Dengan cerdik Borno berusaha mendapatkan antrean keberangkatan sepit pada jam dan waktu tersebut dengan harapan gadis itu menyeberang dengan sepit yang dia kemudikan. Dan hanya Pak Tua bijak –juga pengemudi sepit-- yang tahu ulah Borno sehingga sempat menyindir. Tetapi perasaan cinta itu justru membuat Borno salah tingkah. Apalagi, itu adalah pengalaman pertama Borno jatuh hati. Akhirnya, walau gadis itu sudah naik sepitnya, ironisnya tak sepatah kata pun terucap dari bibir Borno.

Sampai waktu pun berlalu, dan kesempatan itu akhirnya tiba. Borno bisa berkenalan dan berbicara akrab dengan gadis itu --yang ternyata bernama Mei. Bahkan, dia sempat mengajari Mei mengemudikan sepit. Tapi waktu harus memisahkan keduanya. Mei harus pulang kembali ke Surabaya lantaran praktek mengajarnya sudah selesai.

Setelah kepulangan Mei, Borno seakan kehilangan separuh nyawa. Tetapi, berkat petuah Pak Tua, Borno pun tidak mau menyerah pada keadaan. Apalagi, setelah Pak Tua itu berpesan, "Cinta sejati akan menemukan jalannya." Pesan itu semakin meneguhkan hati Borno ketika dia kemudian berkesempatan pergi ke Surabaya karena mengantar pak tua terapi. Di Surabaya itu, Borno berusaha untuk mencari Mei tapi secara tak sengaja keduanya justru bertemu secara tak terduga di tempat terapi --karena kebetulan Mei sedang mengantar neneknya terapi.

Pertemuan itu membuat Borno dan Mei kembali dibelit kenangan masa lalu. Borno pun mengajak Mei jalan-jalan dan makan, bahkan mengantar pulang. Tapi, setelah tahu rumah Mei, hati Borno seperti ciut. Sebab, dia menjumpai kenyataan tentang perbedaan antara Mei dan dia yang sangat jauh berbeda. Rumah Mei bagus dan besar. Hati Borno semakin terasa teriris, saat ayah Mei memperingatkan agar Borno menjauhi Mei. Walaupun ayah Mei berkata bahwa hal itu bukan karena status Borno, melainkan ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Mei harus menjauhi Borno. Sesuatu hal yang sebenarnya sudah tertulis dalam sepucuk angpau merah.

***
LANTAS apa sebenarnya yang ditulis oleh Mei di dalam sepucuk angpau merah sehingga menjadikan cinta Borno dan Mei itu seakan tak bisa dipertemukan? Jawaban tentang isi angpau itulah yang dielaborasi dengan apik, cerdas, bahkan piawai oleh Tere Liye dalam novel Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ini. Sebuah novel yang mengisahkan tentang kisah cinta biasa, tapi menyimpan kekuatan yang luar biasa.

Dengan mengangkat “setting” kota air Pontianak, novel berjudul Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ini mampu mengonyak imajinasi pembaca tentang kehidupan masyarakat di tepian sungai Kapuas. Pengarang dapat menggambarkan dengan menawan tentang keindahan dan kehidupan penduduk tepi sungai Kapuas –termasuk perihal rumah di atas sungai sehingga penduduk yang ingin bepergian tinggal melompat ke sepit yang ada di kolong rumah. Bahkan pengarang bisa mengungkap kedalaman adat, tradisi dan kehidupan yang biasa dan sederhana di tepi sungai Kapuas, tetapi pengarang mampu menarasikan dengan kata-kata yang memikat, mengalir dan tak membosankan, bagaikan menonton sebuah film tentang masyarakat Kapuas.

Harus diakui, meski novel tentang kisah cinta sejati Borno dan Mei ini bukan tema baru dalam dunia sastra, tetapi novel ini patut mendapatkan tempat istimewa dalam khazanah sastra Indonesia. Dengan mengangkat kisah cinta sejati dua anak manusia dari dua status sosial yang berbeda, pengarang seakan dengan telak ingin meneguhkan bahwa cinta itu tak mengenal kasta dan perbedaan ras. Sebab, cinta itu merupakan anugerah dari Tuhan.

Satu hal lagi, pengarang dalam menulis novel ini pun menaburkan petuah-petuah bijak dan arif tentang sahabat sejati, cinta, dan kehidupan. Dan, semua itu dibalut dengan kisah yang kocak sampai mampu mengocok perut pembaca. Tetapi, kelucuan itu tidak membuat novel yang apik mengisahkan tokoh sentral Borno ini terbuai. Sebab di balik kisah Borno itulah terselip dan termaktub perjuangan anak manusia yang bangkit dari keterpurukan untuk menggapai cita-cita.

*) Fitria Zulfa, alumnus Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar: