Sabtu, 14 Februari 2009

A Moment with Muja


Muja, dia adalah sahabat saya. Belum lama saya mengenalnya, akan tetapi seperti sudah sangat lama rasanya. Sosoknya seperti...hm.. seorang kakek tua yang berjenggot sangat panjang (he..he.. yang benar usianya baru tiga puluh tahun, jadi bukan seorang kakek-kakek).

Muja, hm.. sebenarnya saya (merasa) belum pernah bertemu muka dengannya, walaupun selama beberapa tahun kami pernah berada di kampus yang sama, fakultas yang sama dan jurusan yang sama pula. Tidak hanya itu, selama beberapa tahun juga saya pernah nyantri di tempat yang sama dengannya. Hm..lucu dan aneh. So kemudian, bagaimana saya mengenalnya? Jawabannya adalah lewat sms he..he..

Oya, kenapa tadi saya menggambarkan sosok Muja sebagai seorang kakek tua berjenggot panjang, padahal dia bukanlah seorang kakek-kakek? Karena menurut saya, Muja adalah seorang yang bijak. Seorang yang bisa menghadirkan ketenangan di kala gundah saya, meneteskan butiran-butiran embun yang sejuk ke dalam hati saya. Dan berikut ini adalah salah satu kisah saya dengannya.

Sabtu, 27 Januari 2009.


Hati saya sangat gundah dan gelisah. Sepulang dari warnet, saya teringat lagi dengan seseorang dari masa lalu saya. Seseorang yang mengukirkan sebuah kenangan yang indah sekaligus perih, sangat perih. Malam itu, saya sudah tak kuasa lagi membendung air mata. Maka, menangislah saya sambil berjalan kaki pulang menuju “rumah“ kos. Saat itulah saya teringat dengan Muja, sahabat saya. Maka sayapun mengirim sms padanya.

+: “Muja, hatiq gelisah sekali. Bayangan masa lalu kembali mengusik. Entah kenapa ia begitu susah dilupakan. Kadang bisa lupa n kadang datang kmbali. Muja, q ingin sekali tinggalkan samuanya n bersimpuh di pintu-Nya”. (08.23 pm)

-: “Fit, da pa? telp boleh kok klo mo crhat”. (08.27 pm)

+: “Muja, tolong aq.. aq ingin sembunyi. Aq gak mau melihat/mendengar dia lagi. Pulsaq gak cukup u/telp. Lagi pula ngapain dengerin orang nangis”. (08.34pm)

-: “Ya udah klo gitu, aku jadi ingat Email Durkhaim tentang mengapa wanita lebih sedikit bunuh dirinya dari pada laki2, karena wanita mau menangis. Hm menangislah, semoga semuanya kan lebih baik. Maaf!”. (08.39)

+: “Email gigi apa email: electric mail? Emile Durkheim, bukan email he2. Aq dah selesai nangisnya. Makasih ya muja, mulai hari ini kamu jadi teman baikq ya...”. (08.43 pm)

-: “Gk pa2 klo kesalahan tu malah bisa membuatmu tertawa, berarti da hikmahnya”. (08.45)

Ya, begitulah cerita singkat saya dengan Muja he..he.. Dan terakhir, untuk kakek Muja, “Makasih ya kek... kakek sudah mau menemani saya dan meladeni segala polah saya. Semoga Allah balas kebaikan kakek, semoga Ia curahkan segala kebahagiaan untuk kakek dan nenek (alias sang diajeng kakek itu loh he..he..) dan semoga kakek bisa mendapat apa yang kakek inginkan”. Amin